Perkembangan dunia game yang beralih kepada sistem online dan
berhasil memunculkan budaya baru berupa “Digital Social Gaming” jelas
merupakan fenomena tersendiri yang mewarnai perkembangan Gen-Y dan Gen-Z
hari-hari ini. Kematian era game konsol (Play Station, X-Box, dll)
menjadi kian nyata dengan munculnya banyak game online yang gratis,
seru, dan yang terpenting: melibatkan pemain di seluruh dunia, selama 24
jam, dan bisa dimainkan dimanapun hanya dengan bermodalkan smartphone
seharga kurang dari 1 juta rupiah!
Berikut adalah pengaruh COC terhadap mental seseorang :
1. FALSE SUCCESS FEELING
Cobalah amati, nyaris semua game online, terutama yang memakai sistem
daily maintenance (harus bermain tiap hari agar mengalami kemajuan),
tidak pernah ada kata tamat. Setiap kali kita menaikkan level sampai
puncak, maka sang developer akan melakukan update baru, memunculkan
level baru dan memacu pemain untuk kembali mengejar puncak (yang
sebenarnya tak pernah ada ujungnya).
Kita digiring untuk mengejar “kesuksesan” yang sebenarnya tak pernah
ada. Inilah yang saya sebut dengan perasaan sukses yang palsu. Kita
berusaha setengah mati mengejar target-target keberhasilan, tapi begitu
kita mencapainya, ternyata masih ada target berikutnya, dan seterusnya
dan seterusnya.
Bahkan, saya pernah ada teman yang sudah menghabiskan 15 juta untuk
membeli “gem” di Clash of Clan (COC), dan tetap saja kini sang developer
memberikan update baru untuk dicapai. Apakah harus sekali lagi
mengeluarkan uang? Sampai kapan? Apakah ada ujungnya?
Beberapa orang akan mengomentari bagian ini dengan “Ah… jangan
terlalu serius menganalisalah… itu kan cuma game, buat senang-senang
aja…”
Masalahnya, sadarkah kita, bahwa dalam hidup ini, kita sebenarnya
sedang melakukan hal yang sama bukan? Mengejar “target-target” yang tak
pernah ada ujungnya. Kita berusaha naik level dari dulu punya motor,
berusaha punya mobil, sudah punya mobil, mau yang lebih mewah. Sudah
punya, mau apartemen, lalu mau rumah, lalu mau rumah mewah, lalu, lalu,
dan seterusnya…
Kita mengorbankan keluarga, waktu, (dan seringkali kehormatan) untuk
mendapat “gem” supaya bisa naik level kehidupan, tapi toh… Ternyata
selalu ada “update” target baru yang tak pernah ada habisnya. Bahkan
sampai kita matipun, kita tak pernah benar-benar ada di puncak.
Game Online sistem daily playing maintenance, memperkuat gaya hidup
dan konsep hidup ini. Tanpa sadar, melalui permainan dan “aktifitas
senang-senang”, kita sedang didoktrinasi bagaimana cara hidup kita,
yaitu mengejar kesuksesan palsu yang tak pernah ada ujungnya. Kita
nikmati sesaat, lalu muncul target baru, sampai-sampai sebenarnya kita
sudah lelah meneruskan permainan, tapi terasa “nanggung” karen sudah
terlanjur basah…
2. LOSING TIME CONTROL
Inilah salah satu hal berbahaya yang saya jumpai dalam Game Online
sistem Daily Playing Maintenance (DPM). Kita kehilangan kontrol atas
waktu kita sendiri karena justru si game itulah yang mematok jadwal
kapan kita harus online. Contoh, ketika kita mengupgrade Canon dalam
COC, diberitahukan 2 jam kemudian Canon akan selesai. Maka, kita
cenderung ingin online setelah 2 jam karena harus melanjutkan upgrade
berikutnya. Artinya, yang menentukan kapan kamu harus online, bukanlah
dirimu sendiri, tetapi si game tersebut.
Bahkan, saya pernah bermain game Haypi Pirates yang memiliki jam-jam
tertentu untuk mengambil bonus langka. Misalnya, setiap jam 12 dan jam 6
ada bonus item yang penting yang harus dimiliki, maka tanpa sadar kita
dikontrol untuk “harus” online di jam-jam tersebut.
Kendali atas waktu kita diambil alih oleh game.
Padahal, saya berkali-kali menyatakan bahwa waktu=nyawa. Berapa
banyak waktu yang kamu miliki adalah sama dengan berapa banyak nyawa
yang kamu miliki. Dan nyawa = kehidupan. Ketika kamu membiarkan orang
lain memegang kendali atas waktumu, maka sesungguhnya kamu sedang
menyerahkan kendali atas nyawa dan hidupmu juga ke tangan orang lain.
Saya malah pernah memiliki teman yang dengan sengaja memasang alarm
di jam 3 pagi setiap hari, hanya untuk membangunkan dirinya agar bisa
“panen” di akun gamenya, karena setiap jam itu adalah waktu paling tepat
untuk melakukan “panen”.
Tanpa sadar, game sanggup memegang kendali atas hidup kita.
3. MIXING THE REALITY & VIRTUALITY
Seringkali, orang yang terlalu sering dan terlalu “jump in” dalam
dunia online, mulai tak bisa lagi membedakan mana dunia nyata dan mana
dunia permainan. Salah satu rekan clan saya dalam permainan Haypi
Pirates pernah mengeluarkan uang 1,5 juta secara spontan hanya karena
dia baru saja diserang dan kalah. Ketika saya dan beberapa orang
bertanya, “apakah tidak sayang?”
Jawabnya, “Ini adalah masalah kehormatan bung!”
Pertanyaannya, perlukah mempertahankan kehormatan di dunia permainan
yang bahkan semua pemainnya tidak pernah bertemu muka dengan kita dan
bahkan tidak tahu siapa kita? Kehormatan apa yang dipertahankan?
Sekiranya kita kalah hancur lebur pun, musuh kita juga tidak tahu siapa
kita. Dalam dunia game, kita hanyalah sebatas nama user id. Tidak lebih
dari itu. Tapi seringkali kita menganggapnya seperti dunia nyata dan
kekalahan kita seolah-olah seperti sebuah kekalahan nyata yang merusak
hidup kita.
Dan lebih dari itu, saya juga menjumpai banyak sekali anak muda yang
lebih suka “gaul” dengan teman-teman clan COC’nya daripada keluar kamar
dan bertemu dengan teman-teman yang sesungguhnya. Memang, ada beberapa
kasus dimana clan COC yang kuat persaudaraannya akhirnya melakukan
kopdar dan membuat komunitas dalam pertemuan nyata. Tapi, itu lebih
banyak terjadi pada gamer dewasa.
Pada gamer remaja, saya menemukan lebih banyak kasus mereka
meng’isolasi diri dari lingkungan sosial nyata dan asyik bersosialisasi
secara virtual dalam clan-clan game. Padahal sekali lagi, kita hanyalah
sebatas user id di dunia game. Sebagai orang yang mempelajari Kecerdasan
Emosi (EQ) secara mendalam, saya menjumpai, social media dan game
online menjadi salah satu teknologi yang menyumbang turunnya tingkat EQ
generasi muda di Indonesia.
Karena terlalu banyak terlibat dalam interaksi sosial digital yang
“introvert”, terisolasi, dan miskin ekspresi emosional nyata (ingat,
emosi dan emoticon berbeda jauh!), maka kaum muda kehilangan kemampuan
berosialisasi, berinteraksi, dan berkomunikasi secara verbal maupun
emosional dalam konteks lingkungan “real”.
Yang membahayakan, banyak gamer yang merasa dunia game lebih nyata
dari dunia nyata itu sendiri! Inilah salah satu contoh dunia game &
nyata sudah “kecampur”:
4. INSTANT REWARD MENTALITY
Salah satu bahaya yang paling mengancam dalam dunia game adalah
“susupan” mentalitas instan yang kuat sekali diajarkan dalam game
online. Contoh simpel, setiap kali kamu melakukan upgrade, dalam kurun
waktu tertentu kamu langsung melihat hasil nyata peningkatan kekuatanmu.
Artinya, setiap usaha yang kamu lakukan, langsung terlihat hasilnya.
Makin sering kamu main, kamu bisa memantau sampai sejauh apa
perkembanganmu. Ada angka-angka, ada “meteran” yang mengukur kapan
upgrading selesai, ada syarat-syarat yang jelas untuk mendapat reward,
bonus, karakter spesial, kemampuan khusus, dan naik level. Artinya,
semua sistem reward & punishment sudah jelas sekali.
Masalahnya, dalam hidup tidak demikian. Dalam game, kita keluarkan
uang 1 juta, jelas kelihatan apa-apa saja hasil dan peningkatannya.
Namun, dalam hidup, kadangkala tidak ada formula tetap yang pasti.
Akhirnya, ketika kita mengeluarkan uang 1 juta dengan pengharapan
mendapat sebuah hasil tertentu, tapi ternyata tidak terlihat hasilnya,
kita menjadi kecewa dan terguncang.
Artinya, dalam hidup nyata, seringkali kita tak bisa melihat langsung apa hasil dari usaha kita.
Contohnya, artikel yang saya tulis detik ini, jika dalam dunia game, 1
artikel bisa dihargai dengan 100 experience. Dengan mengumpulkan 1000
experience (10 artikel) saya bisa naik level. Tapi dalam kehidupan,
siapa yang bisa tahu ada berapa banyak artikel yang harus saya tulis
agar supaya terjadi sebuah “kesukesan”?
Inilah sebabnya kenapa sekarang banyak anak muda yang minta usaha
mereka langsung dihargai dengan sesuatu yang kelihatan. Ketika mereka
melakukan sesuatu, mereka meminta “instant reward” yang bisa mereka
lihat sebagai kompensasi dari apa yang sudah mereka kerjakan dan
usahakan. Bukankah mentalitas ini menjadi berbahaya jika menjangkiti 1
generasi?
Padahal, sepanjang saya belajar tentang keberhasilan hidup.
Kadangkala, ada proses-proses yang kita lakukan, kita sama sekali tak
bisa melihat efek dan dampaknya. Tidak ada intant reward yang ada sama
sekali. Tapi bertahun-tahun kemudian, kita baru bisa melihat apa yang
kita lakukan dahulu ternyata turut menyumbang keberhasilan hari ini.
Reward tidak datang saat itu juga dan tak terlihat saat itu juga.
5. INSTANT FINISH MENTALITY
Mentalitas instan berikutnya adalah godaan untuk menyelesaikan segala
sesuatu melalui jalur cepat. Dalam COC, Hayday, Haypi Pirates, Line
Let’s Get Rich, dan semua game online apapun, mereka selalu menyediakan
semacam “gem” (atau ruby, atau diamond, atau apapun namanya). Gunanya?
Jika kamu malas menunggu waktu upgrade, belilah gem dan klik tombol
“finish now” maka, TWALA! selesailah sudah upgrademu.
Maka, saya berjumpa dengan sangat banyak orang (baik muda maupun tua)
yang dengan cepat menggelontorkan uangnya membeli gem hanya untuk
“finish now”.
Dan, jangan kaget, dalam game-game semacam itu. Orang-orang yang
tidak membeli gem, yang sabar, mampu menahan diri, setia dengan proses,
akan jauh lebih kalah dan cupu. Semua posisi top diisi oleh para pemain
yang menggunakan gem habis-habis’an. Dalam hal ini, mereka yang punya
banyak uang, bisa “mempercepat” jalan menuju kesuksesan.
Benarkah uang bisa menjadi jalan pintas?
Ya, untuk banyak hal uang bisa mempercepat proses. Tapi, dalam
kehidupan ini, ada proses-proses kehidupan yang tidak bisa di”finish
now” dengan uang. Misalnya, kelahiran bayi. Sebanyak apapun uangmu,
tetap saja kamu harus menunggu 9 bulan. Pernikahan, sebanyak apapun
uangmu, tetap saja pria dan wanita harus berproses melalui waktu untuk
menemukan kedewasaan cinta. Membesarkan anak, sebanyak apapun uangmu,
mengajarkan karakter tetap saja butuh waktu, menunjukkan keteladanan
dalam momentum-momentum kehidupan yang spontan dan tak bisa dibeli.
Bahkan bikin mie instan saja tetep butuh proses waktu menunggu dan tak bisa tekan tombol “finish now” (sebanyak apapun uangmu!)
Artinya, ada banyak hal penting yang tak bisa di “finish now” untuk mendapatkannya!
Tapi, budaya dalam game online menyatakan bahwa kesuksesan bisa
dibeli dengan uang! (kesuksesan palsu “falses success feeling”lah yang
bisa dibeli dengan uang).
Jika kita terkontaminasi dengan budaya instant finish mentality ini,
bisa-bisa segala sesuatu dalam hidup kita akan mengambil jalan pintas
hanya supaya bisa segera melihat hasilnya.
Demikian adalah pengaruh COC terhadap mental seseorang. SEMOGA BERMANFAAT....
0 komentar:
Posting Komentar